Di kawasan
pesisir Pak Rahmat, sang Pejuang Mangrove, tinggallah tiga sahabat mangrove,
Bogem, Bakau dan Brayo. Brayo sedang sedih. Banyak buahnya yang berguguran,
jatuh tak berguna. Di musim buah seperti ini, dia ingin setiap buahnya bisa
bermanfaat, seperti milik teman-temannya.
"Jangan
sedih, Brayo. Buahmu yang jatuh, kan bisa menjadi humus dan menyuburkan
lantai hutan," hibur Bakau.
"Aku tahu
itu, tapi aku ingin buahku bisa bermanfaat sebelum mengering dan membusuk. Aku
ingin buahku seperti buahmu, yang dimanfaatkan manusia menjadi pewarna
batik," jawabnya murung.
"Buahmu
banyak berguguran agar jenismu bisa lestari. Bila satu mati, masih ada cadangan
buah yang lain," Bogem menimpali.
"Itu aku
juga tahu, Bogem. Sudah kodrat alamku seperti itu. Tapi, aku mau buahku dibuat
sirup yang manis, seperti buahmu," harapnya.
Tak jauh dari situ, Anti dan teman-temannya sibuk memasak buah-buahan mangrove, untuk tugas sekolahnya. Mereka mencobanya dijadikan jajanan.
"Aku
sudah dapat. Setelah banyak percobaan, ini yang kupilih. Brayo kukus dengan
campuran garam dan parutan kelapa ala chef Anti, siap menggemparkan
sekolah," ujarnya.
"Wah, ini
penemuan spektakuler. Bahannya mudah dan bumbunya murah meriah,"
sahut Risma.
"Benar.
Besok pagi, pasti nilai kelompok kita paling tinggi. Dijamin!" seru
temannya yang lain.
Beberapa bulan
berlalu.
"Bukankah
itu Anti, anak Pak Rahmat. Sedang apa dia di sana?" tanya Bakau keheranan.
"Dia dan
gurunya sedang membuat kebun bibit mangrove, terutama dari jenis Brayo. Mereka
membudidayakan Brayo untuk dibuat jajanan," timpal Bogem.
"Wah,
berita gembira. Apakah Brayo sudah tahu hal ini?"
"Sudah.
Sejak semalam dia nampak senang. Dia tak sedih lagi, karena kini buahnya bisa
lebih bermanfaat," ucap Bogem gembira.
"Aku juga
turut senang. Kita semua diciptakan berguna. Bangga sekali menjadi
mangrove."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar